Masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi dengan istilah tsunami,
karena Indonesia berada pada wilayah yang memang memiliki potensi
tsunami, terutama pada daerah yang dilewati oleh ring of fire. Indonesia
memiliki sejarah tsunami yang cukup banyak dan diantaranya
mengakibatkan kerusakan yang sangat parah dan korban jiwa yang sangat
banyak.
Tsunami sendiri adalah
jenis gelombang yang diakibatkan oleh getaran, seperti aktifitas
tektonik, ledakan bawah laut, aktifitas vulkanik, dan lainya. Tsunami
yang berhubungan dengan aktifitas tektonik ataupun vulkanik merupakan
peristiwa yang tidak bisa diramal secara pasti, namun memiliki sifat
berulang dalam jangka waktu yang panjang. Hal ini dapat dibuktikan
melalui ilmu paleotsunami.
Indonesia memiliki tatanan tektonik yang sangat kompleks dan aktif. Tsunami biasanya terjadi akibat aktifitas tektonik bawah laut dengan kedalaman dangkal, yaitu sekitar 50km atau kurang. Pada umumnya, aktifitas tektonik ini merupakan pemicu terjadinya patahan. Patahan di dasar laut ini memungkinkan terbentuknya gelombang tsunami.
Tsunami biasanya terjadi karena adanya perubahan bentuk dasar laut secara tiba-tiba akibat dislokasi massa batuan dasar laut. Perubahan posisi massa batuan penyusun dasar laut merupakan peristiwa diastropisma (Gerakan kerak bumi yang menyebabkan perubahan kedudukan sedimen atau deformasi tektonik) dalam bentuk patahan dasar laut.
Datangnya gelombang tsunami dapat diprediksi dengan melihat gejala-gejala yang ada di sekitar pantai setelah terjadinya gempa ataupun aktifitas vulkanik, karena aka nada selang waktu beberapa saat sebelum gelombang tsunami sampai di pantai. Badwi dalam bukunya yang berjudul Geologi Tata Lingkungan Edisi Revisi menyebutkan beberapa gejala alam yang dapat dijadikan tolak ukur terjadinya tsunami:
1. Adanya gempa tektonik yang getarannya dirasakan hingga daratan.
2. Air laut mengalami penyurutan drastis secara tiba-tiba.
3. Bila struktur dasar laut terdapat lereng, maka akan terbentuk suara ledakan seperti bom ketika tsunami melewati lereng dasar laut tersebut. Sedangkan jila dasar laut tersebut landai, maka gelombang tsunami akan seperti suara gendering.
4. Adanya bau garam yang terbawa oleh udara yang dingin.
5. Gelombang tsunami biasanya terjadi dua hingga tiga kali dengan jeda beberapa saat. Gelombang pertama biasanya relatif lebih kecil dibanding dengan gelombang selanjutnya yang biasa dating lebih besar.
Sumber : Badwi, Nasiah., Ichsan Invanni Baharuddin., dan Ibrahim Abbas. 2019. Geologi Tata Lingkungan Edisi Revisi. Yogyakarta: Deepublish.
Sumber Gambar: BMKG
Indonesia memiliki tatanan tektonik yang sangat kompleks dan aktif. Tsunami biasanya terjadi akibat aktifitas tektonik bawah laut dengan kedalaman dangkal, yaitu sekitar 50km atau kurang. Pada umumnya, aktifitas tektonik ini merupakan pemicu terjadinya patahan. Patahan di dasar laut ini memungkinkan terbentuknya gelombang tsunami.
Tsunami biasanya terjadi karena adanya perubahan bentuk dasar laut secara tiba-tiba akibat dislokasi massa batuan dasar laut. Perubahan posisi massa batuan penyusun dasar laut merupakan peristiwa diastropisma (Gerakan kerak bumi yang menyebabkan perubahan kedudukan sedimen atau deformasi tektonik) dalam bentuk patahan dasar laut.
Datangnya gelombang tsunami dapat diprediksi dengan melihat gejala-gejala yang ada di sekitar pantai setelah terjadinya gempa ataupun aktifitas vulkanik, karena aka nada selang waktu beberapa saat sebelum gelombang tsunami sampai di pantai. Badwi dalam bukunya yang berjudul Geologi Tata Lingkungan Edisi Revisi menyebutkan beberapa gejala alam yang dapat dijadikan tolak ukur terjadinya tsunami:
1. Adanya gempa tektonik yang getarannya dirasakan hingga daratan.
2. Air laut mengalami penyurutan drastis secara tiba-tiba.
3. Bila struktur dasar laut terdapat lereng, maka akan terbentuk suara ledakan seperti bom ketika tsunami melewati lereng dasar laut tersebut. Sedangkan jila dasar laut tersebut landai, maka gelombang tsunami akan seperti suara gendering.
4. Adanya bau garam yang terbawa oleh udara yang dingin.
5. Gelombang tsunami biasanya terjadi dua hingga tiga kali dengan jeda beberapa saat. Gelombang pertama biasanya relatif lebih kecil dibanding dengan gelombang selanjutnya yang biasa dating lebih besar.
Sumber : Badwi, Nasiah., Ichsan Invanni Baharuddin., dan Ibrahim Abbas. 2019. Geologi Tata Lingkungan Edisi Revisi. Yogyakarta: Deepublish.
Sumber Gambar: BMKG
Comments
Post a Comment