Dampak Bencana Geologi dan Perubahan Iklim Terhadap Air Tawar dan Kehidupan Masyarakat Pesisir

Gambar 1. Seorang anak sedang mengambil air dengan senang
Sumber: (runwithheart.jp)

      Air merupakan sumber kekuatan bagi kehidupan di muka bumi ini. Dengan air, tumbuh-tumbuhan dapat hidup dan menghijaukan bumi ini. Dengan air, hewan-hewan dapat saling berlarian dan menjalankan rantai kehidupan. Dengan air pula, manusia dapat menjalankan segala proses kehidupan yang berkaitan dengan banyak aspek, mulai dari kebutuhan biologis manusia itu sendiri hingga kebutuhan ekonomi. Manusia dapat hidup sekitar satu bulan tanpa makanan, namun manusia tidak dapat hidup lebih dari tiga sampai tujuh hari tanpa adanya air. 
      Bertambahnya populasi manusia berdampak pada meningkatnya kebutuhan air di bumi ini. Manusia menggunakan air bukan hanya untuk konsumsi dirinya sendiri, namun juga untuk berbagai aktifitas yang dijalaninya, seperti mencuci pakaian, mandi, membersihkan kendaraan, hingga penggunaan air skala besar oleh industri. Manusia menjalankan aktifitasnya tersebut bukan dengan air laut, melainkan dengan air tanah, air danau, atau air sungai tergantung dimana manusia tersebut hidup. Namun, air yang berada di dalam tanah, danau, maupun sungai memiliki jumlah yang sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah air yang berada di lautan. Menurut The United States Geological Survey atau biasa disebut dengan USGS, di dunia ini hanya terdapat sekitar 1,69% air tanah, 0,013% air danau, dan 0,0002% air sungai dari jumlah air secara keseluruhan. Sehingga sudah menjadi jadwal berita setiap tahun bahwa di beberapa negara termasuk Indonesia seringkali mengalami kelangkaan air bersih.
    Kelangkaan air tawar dan air bersih bukan hanya terjadi di daerah tandus, tetapi terjadi di daerah dekat pesisir yang pada dasarnya terdapat beberapa komponen sumber air, yaitu air laut, air tanah, dan air sungai. Tentu saja air laut ini tidak dapat digunakan secara langsung untuk kegiatan konsumsi warga, namun harus melalui banyak tahapan untuk dapat dikonsumsi. Kelangkaan air di daerah pesisir ini terjadi karena banyak faktor yang sangat kompleks, mulai dari kegiatan pencemaran dan konsumsi skala besar oleh manusia hingga kejadian bencana alam yang berakibat pada hilangnya air tawar di daerah pesisir tersebut. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai hilangnya air tawar di daerah pesisir akibat dari bencana geologi dan perubahan iklim yang terjadi di Kecamatan Sayung, Demak serta dampak yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut.


Gambar 2. Model rekonstruksi data spasial dari data satelit dan fase sedimentasi dari selat Muria dan garis pantai kuno
Sumber: (Hartoko etal., 2014)

       Berdasarkan kajian Paleo-Oseanografi, daratan yang terbentuk saat ini di Utara Jawa secara historis adalah lautan pada jutaan tahun yang lalu. Daratan di Utara Jawa tersebut sebelumnya mengalami pengangkatan akibat aktifitas tektonik menjadi sebuah daratan seperti sekarang. Selain itu, proses sedimentasi juga ikut berperan dalam pembentukan daratan pada daerah Utara Jawa tersebut. Proses yang berlangsung lama ini menyatukan antara wilayah Gunung Muria, Blora, Semarang, hingga ke daerah Surakarta. Tentu saja peristiwa ini dapat dibuktikan dengan ekspedisi geologi yang biasa dilakukan di derah Grobogan, Pati, hingga daerah Sragen untuk mencari jejak-jejak fosil makhluk laut yang dapat ditemukan di daratan sebagai bukti bahwa daerah tersebut adalah lautan di masa lampau.
        Akibat dari proses sedimentasi yang berlangsung jutaan tahun ini membuat struktur tanah di Utara Jawa menjadi tidak stabil dan cenderung mengalami penurunan akibat beban yang terus bertambah di zaman sekarang. Contoh wilayah yang mengalami penurunan adalah Semarang, Demak, dan Jepara. Selain proses sedimentasi, pengambilan air tanah secara besar-besaran oleh industri yang berada di Utara Jawa pun menjadi penyebab terjadinya penurunan muka tanah. Dalam kajian ilmiah, penurunan muka tanah ini sering disebut dengan Land Subsidence.

Gambar 3. Rumah-rumah terendam oleh banjir di Kecamatan Sayung, Demak
Sumber: (Dokumentasi, 2019)

        Selain penurunan muka tanah, wilayah Utara Jawa khususnya wilayah Sayung, Demak mengalami kenaikan muka air laut akibat pemanasan global. Kenaikan muka air laut akibat pemanasan global ini semakin memperparah keadaan di wilayah tersebut. Menurut Utami et al (2017), kenaikan muka air laut di wilayah Kecamatan Sayung, Demak adalah 8,294 cm/tahun. Angka tersebut bukanlah angka yang kecil, dalam 10 tahun saja wilayah Sayung sudah tenggelam setinggi 82,94 cm apabila kita mengalikan angka tersebut dengan 10 tahun mendatang. Namun, apakah angka tersebut akan tetap bertahan seperti itu? Jawabannya adalah tidak, karena bencana ini melibatkan banyak faktor yang sangat kompleks, sehingga peramalan hingga 10 tahun pun mempunyai nilai error. 
        Akibat dari fenomena penurunan muka tanah dan kenaikan muka air laut (rob) ini menimbulkan permasalahan baru di wilayah Kecamatan Sayung ini, yaitu intrusi air laut. Intrusi air laut adalah fenomena masuknya air laut ke dalam air tanah, sehingga air tanah tersebut memiliki salinitas yang lebih tinggi dibandingkan air tawar pada umumnya. Intrusi air laut ini diperparah karena wilayah Sayung memiliki topografi yang sangat datar, kemiringan sungai yang sangat kecil, terdapat lahan-lahan tambak di pesisir, serta terjadinya kemunduran garis pantai. Menurut penelitian daya hantar listrik untuk mengetahui intrusi air laut yang dilakukan oleh Darmanto (2013) menunjukan bahwa di wilayah sekitar sungai Demangan, Kecamatan Sayung yang memiliki jarak lebih dari 4km dari muara sungai memiliki nilai daya hantar listrik sebesar 5700 uS/cm. Angka daya hantar listrik tersebut memiliki arti bahwa pada wilayah sekitar sungai Demangan, Kecamatan Sayung memiliki air dengan rasa payau, bukan tawar. Hal ini menunjukan bahwa intrusi air laut di wilayah tersebut sudah sangat jauh masuk ke daratan. 

Gambar 4. Bangunan yang sudah ditinggalkan pemiliknya akibat terendam banjir rob
Sumber: (Dokumentasi, 2019)

     Intrusi air laut ini juga berpengaruh terhadap sumur-sumur warga setempat. Air yang dulunya memiliki rasa tawar seperti air pada umumnya, kini mereka harus hidup dengan air tanah yang memiliki rasa payau. Seorang warga yang berasal dari Desa Sriwulan, Kecamatan Demak pernah penulis wawancarai. Menurut warga tersebut, dulu sumur-sumur yang mereka gali mengeluarkan air dengan rasa tawar dan sangat nyaman untuk diminum. Namun, setelah bencana banjir rob datang dan intrusi air laut terjadi, air tersebut berubah menjadi payau. Bagi warga setempat, air tersebut cukup berharga karena masih dapat mereka minum walaupun memiliki rasa yang cukup aneh bagi sebagian orang yang baru meminum air payau. Mereka menjalankan aktifitas seperti mencuci, mandi, hingga konsumsi menggunakan air tersebut. 
      Akibat deretan bencana tersebut yang salah satunya adalah hilangnya air tawar di sumur-sumur warga, banyak warga yang memilih untuk berpindah tempat dari pesisir Kecamatan Sayung ke tempat lain yang lebih aman dar bencana seperti itu dan memiliki persediaan air tawar di sumur-sumurnya. Rumah-rumah disana ditinggalkan begitu saja karena siapa juga yang berniat untuk membeli rumah yang sudah terendam banjir serta harus membayar untuk mendapatkan air tawar?. Namun, beberapa nelayan masih tetap bertahan disana untuk melanjutkan hidup dengan harapan pemerintah dan badan kebencanaan sekitar dapat memberikan bantuan yang lebih effektif dan solutif atas permasalahan yang mereka hadapi tersebut. Setidaknya, mereka ingin banjir rob tersebut dapat ditanggulangi terlebih dahulu. 

Gambar 5. Pemukiman warga yang sudah terendam banjir rob
Sumber: (Dokumentasi, 2019)

        Usaha untuk mengembalikan air tawar pada daerah tersebut sangatlah sulit, karena prosedur yang harus dilewati sangatlah panjang dan membutuhkan waktu yang sangat lama. Penanganan masalah seperti ini harus dimulai dengan mengatasi permasalahan banjir rob di wilayah tersebut. Setelah itu, pemerintah harus melakukan pengecekan pada titik-titik dalam tanah yang memiliki lapisan kosong dan mengisinya dengan bahan padat untuk mengantisipasi terjadinya intrusi pada lapisan kosong tersebut. Bukan hanya itu, permasalahan penurunan muka tanah pun menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah setempat untuk mengembalikan wilayah tersebut seperti sediakala. 
       Kini, air tawar menjadi barang yang harus mereka tukar dengan sejumlah uang untuk dapat  mereka konsumsi. Padahal, sebelum bencana ini datang mereka tak perlu membayar sepeserpun untuk meminum berliter-liter air. Terkadang, kita tak pernah menduga bahwa bencana akan merenggut hal yang begitu berharga bagi kehidupan kita, seperti air tawar yang bisa didapat secara gratis. Tetapi, alam memang selalu berusaha untuk mencapai sebuah kesetimbangan atas kejadian yang terjadi di masa lampau. Sehingga akan ada saatnya manusia mengalami krisis air seperti saat ini dan mungkin di masa depan air tawar tersebut akan muncul di daerah pesisir yang terdampak banjir rob dan intrusi.

Gambar 6. Rumah terendam oleh banjir rob
Sumber: (Dokumentasi, 2019)

        Berdasarkan fenomena yang telah dijabarkan tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa air tawar yang selama ini kita nikmati secara gratis atau dengan harga murah dapat habis atau hilang karena suatu kejadian alam. Kejadian alam ini tentunya terjadi karena bumi akan terus berusaha menyeimbangkan kehidupan di atasnya. Namun, selain faktor alam pasti terdapat faktor manusia yang akan memperparah kejadian yang ditimbulkan dari usaha penyeimbangan bumi tersebut. Tentunya sebagai manusia yang sadar sepenuhnya atas pentingnya air bagi kehidupan, kita harus berusaha menerapkan kebiasaan untuk menghemat air. Hal-hal sekecil ini dapat memberikan dampak yang sangat besar bagi eksistensi air tawar di masa depan. Kita pun dapat mengkampanyekan atau mengajak orang lain untuk bijak dalam mengonsumsi air. 
        Penulis sangat berharap kejadian hilangnya air tawar seperti ini tidak lagi terjadi di daerah lain, karena hal ini sangat berdampak besar bagi kehidupan sosial yang ada di daerah terdampak. Penulis pun sangat berharap kepada pembaca untuk terus bijak menggunakan air serta berkontribusi terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat menjaga eksistensi air tawar. Selain itu harapan dari penulis untuk pemerintah setempat dapat membantu masyarakat Kecamatan Sayung untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi.

Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog "Perubahan Iklim" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini

Daftar Pustaka:
[1] Darmanto, Darmakusuma. 2013. Kajian Intrusi Air Laut Melalui Sungai di Pesisir Kabupaten Demak Jawa Tengah. Majalah Geografi Indonesia, Volume 27, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 1-10.
[2] Hartoko, Agus., Hariyadi., Petrus Subardjo., dan J.T. Srisumantyo. 2014. Satellite Data Spatial Based Reconstruction and Discovery of The Ancient Coastline, Coral-Fringing Reef and Mollusc Fossils at The Muria Strait - Central Java, Indonesia. Proceeding 6th Indonesia Japan Joint Scientific Symposium
[4] Utami, Widya Sari., Petrus Subardjo., dan Muhammad Helmi. 2017. Studi Perubahan Garis Pantai Akibat Kenaikan Muka Air Laut di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Jurnal Oseanografi, Volume 6, Nomor 1, Tahun 2017, Halaman 281-287.

Comments