Pengaruh Perubahan Iklim dan Aktifitas Manusia Terhadap Kualitas Air Laut dan Biota di Dalamnya

Gambar 1. Cover artikel air laut dan kehidupan
Sumber: (Dokumentasi, 2020)

Air menjadi suatu barang yang sangat penting bagi kehidupan di muka bumi ini. Setiap makhluk hidup yang berada pada habitat tertentu pasti sangat bergantung pada tersedianya air di kawasan mereka hidup. Hewan-hewan darat di alam liar pasti sangat bergantung pada ketersediaan air di sungai maupun di danau. Ikan air tawar pasti sangat bergantung pada adanya air di kawasan sungai atau danau pula. Manusia memenuhi kebutuhan airnya melalui pembuatan sumur-sumur di sekitar rumah mereka atau menyalurkan pipa panjang dari pegunungan. Begitu pula dengan makhluk hidup yang berada di lautan. Mereka pasti sangat bergantung pada lautan sebagai tempat dimana mereka hidup.

Air laut merupakan air yang mempunyai kadar salinitas lebih tinggi dibanding dengan air tawar. Menurut National Oceanic and Atmospheric Administration atau NOAA, rata-rata konsentrasi salinitas pada air laut adalah 35ppt (dibaca: Parts per thousand). Uniknya, konsentrasi salinitas ini sangat dipengaruhi oleh letak lintang dan proses atmosfer maupun proses dari pesisir. Pada wilayah equator dan kutub memiliki salinitas yang lebih rendah dibanding daerah lintang pertengahan. Begitu juga dengan wilayah yang berdekatan dengan sungai atau yang memiliki pengaruh atmosfer yang besar akan memiliki konsentrasi salinitas yang lebih kecil. Dengan konsentrasi salinitas yang berbeda-beda di setiap lautan, maka keragaman biota di didalamnya pun sangat bervariasi tergantung pada nilai salinitasnya. Air laut tidak akan mengalami kelangkaan secara kuantitas, namun air laut akan mengalami penurunan secara kualitas. Bagaimana hal ini bisa terjadi? mari kita lihat gambar di bawah ini!

Gambar 2. Hubungan antara karbon dioksida dengan pH dan suhu
Sumber: (Dokumentasi, 2020)

Kondisi lautan sangat dipengaruhi oleh keadaan atmosfer atau lapisan di atas permukaan laut itu sendiri, seperti suhu, presipitasi, kadar karbon dioksida, dan angin. Setiap biota yang hidup di lautan memiliki batasan tersendiri terhadap parameter-parameter atmosfer tersebut. Perubahan sedikit saja akan memberikan pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan biota di lautan bahkan berujung pada kematian biota-biota ini. Hal ini sangat berkaitan dengan kondisi perubahan iklim pada saat ini. Ternyata bukan hanya air tawar yang terancam di bumi ini, namun kualitas air laut sebagai tempat hidup berbagai macam biota pun ikut terancam oleh perubahan iklim ini.

Kondisi atmosfer yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan di lautan adalah bertambahnya konsentrasi karbon dioksida di atmosfer akibat berbagai aktifitas pembakaran yang dilakukan oleh manusia. Bagaimana karbon dioksida dapat memengaruhi kehidupan biota di lautan? Mari kita bahas pada paragraf berikut, namun perhatikan terlebih dahulu gambar berikut.

Gambar 3. Reaksi karbon dioksida dengan air akan menghasilkan bikarbonat
Sumber: (pmel.noaa.gov)

Karbon dioksida yang berada di atmosfer secara alami akan mengalami difusi ke dalam lautan. Difusi adalah perpindahan suatu zat dari konsentrasi tinggi ke media dengan konsentrasi tinggi. Difusi karbon dioksida ini terjadi karena adanya dinamika samudera, yaitu gelombang laut. Karbon dioksida yang terdifusi ke lautan akan berikatan dengan air dan ion karbonat sehingga struktur molekulnya akan berubah menjadi dua buah molekul bikarbonat yang memiliki sifat asam. Dalam jumlah normal, perubahan struktur molekul dari karbon dioksida menjadi bikarbonak adalah untuk menjaga pH lautan tetap pada kondisi netral. Namun, saat ini pH lautan mengalami penurunan akibat bertambahnya konsentrasi karbon dioksida di atmosfer, hal ini diakibatkan karena karbon dioksida yang terdifusi ke lautan konsentrasinya semakin besar. Menurut penelitian yang dilakukan oleh 
National Oceanic and Atmospheric Administration pada program PMEL Carbon Program yang dilakukan di daerah Hawaii menunjukan bahwa penurunan pH lautan pada saat ini sebesar 0,1 sejak tahun 1958 lalu. Berikut merupakan grafik yang dipublikasikan oleh PMEL Carbon Program .

Gambar 4. Konsentrasi karbon dioksida di Pasifik Utara secara time series
Sumber: (pmel.noaa.gov)

Berdasarkan grafik tersebut, dapat diketahui bahwa konsentrasi karbon dioksida setiap tahun dari 1958 mengalami kenaikan lebih dari 100ppm hingga tahun 2018. Hal ini memberikan efek pada pH lautan yang juga mengalami penurunan sebesar 0,1 sejak 1990 an. Apabila dihitung sejak 1958 mungkin saja angka penurunan tersebut lebih besar dari yang terhitung sekarang. Data yang diperoleh ini bukan berasal dari citra satelit yang memiliki nilai error lebih tinggi, tetapi berasal dari data pengukuran lapangan oleh NOAA. Artinya data penurunan tersebut memiliki tingkat validitas yang cukup tinggi. 

Penurunan pH air laut ini menunjukan bahwa kualitas air laut kian hari semakin menurun. Tentunya hal ini sangat berdampak pada kehidupan biota di dalamnya, khususnya yang paling merasakan pengaruh dari penurunan pH ini adalah moluska. Moluska berjenis Pteropods atau kupu-kupu laut mengalami akan mengalami kerusakan pada cangkangnya selama 45 hari akibat penurunan pH ini. Berikut merupakan bukti yang dipublikasikan oleh National Geographic dan dipublikasikan ulang melalui website resmi PMEL Carbon Program.
Gambar 5. Cangkang Pteropods yang mengalami kerusakan akibat perubahan pH lautan
Sumber: (pmel.noaa.gov)

Gambar tersebut membuktikan bahwa penurunan pH dengan angka 0,1 saja sudah menimbulkan kecacatan pada moluska yang hidup di lautan selama 45 hari sejak dia lahir. Apabila perubahan iklim dan produksi karbon dioksida terus meningkat dan berakibat pada semakin asamnya lautan, tidak menutup kemungkinan bahwa umur dari moluska lebih pendek dari pada keadaan normal. Perlu diketahui bahwa Pteropods ini merupakan makanan alami untuk beberapa jenis paus dan salmon di Pasifik Utara. Bayangkan saja ketika Pteropods ini mengalami kematian akibat pH lautan menurun, maka akan menimbulkan permasalahan baru pada kehidupan salmon dan paus. 

Penurunan pH ini bukan hanya memengaruhi kehidupan dari moluska, tetapi memengaruhi pula pada kehidupan ikan-ikan yang ada di lautan. Mereka akan mengalami kecacatan pada pertumbuhan sisik. Begitu pula penurunan pH ini akan berpengaruh pada terumbu karang yang mempunyai waktu pemulihan puluhan tahun apabila mengalami kerusakan. Berbicara tentang terumbu karang, kualitas air yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan terumbu karang adalah bertambahnya temperature lautan. Mari kita lihat data anomali temperatur lautan secara time series yang dipublikasikan oleh Global Climate Change dari NASA berikut. Sumber data ini berasal dari NASA's Goddard Institute for Space Studies. 

Gambar 6. Grafik peningkatan anomali temperatur pada land-ocean
Sumber: (climate.nasa.gov)

Berdasarkan grafik tersebut kita dapat mengetahui bahwa sejak tahun 1880 bumi kita mengalami kenaikan anomali temperatur sebesar 1°C. Mungkin angka ini terlihat begitu kecil bagi manusia yang pada dasarnya memiliki ketahanan terhadap perubahan suhu dengan angka tersebut. Namun perlu digaris bawahi, bahwa makhluk laut yang hidup pada air laut memiliki sensitivitas yang cukup tinggi terhadap perubahan-perubahan seperti ini. Bukan hanya merasakan ketidaknyamanan, makhluk laut ini dapat mengalami kerusakan bahkan kematian di habitatnya sendiri akibat kenaikan temperatur sebesar 1°C ini. 

Salah satu makhluk laut yang mengalami kematian akibat naiknya temperatur lautan adalah terumbu karang. Terumbu karang akan mengalami kematian akibat naiknya temperatur lautan setelah karang tersebut mengalami pemutihan atau coral bleaching. Bagaimana peristiwa coral bleaching ini dapat terjadi? Mari kita lihat gambar di bawah ini!.

Gambar 7. Proses coral bleaching
Sumber: (Dokumentasi, 2020)

Pemutihan karang atau coral bleaching terjadi ketika temperatur lautan mengalami kenaikan atau penurunan sebanyak 1-2 angka dari temperatur normal. Ketika temperatur lautan mengalami kenaikan atau penurusan secara ekstrim tersebut maka mikroalgae yang hidup pada karang yang biasa disebut dengan Zooxanthella akan meninggalkan karang tersebut karena tidak tahan dengan perubahan temperatur yang terjadi. Zooxanthella ini sangat penting ada pada terumbu karang karena mereka berperan dalam menentukan pigmen pada terumbu karang. Selain itu Zooxanthella ini ada pada jaringan lunak pada terumbu karang, sehingga mereka sangat penting keadannya untuk bersimbiosis dengan terumbu karang. Setelah terumbu karang tersebut ditinggalkan oleh Zooxanthella, maka pigmen pengatur pada terumbu karang sudah tidak ada lagi. Akibatnya adalah terumbu karang akan mengalami pemutihan. Menurut Coremap-LIPI, naiknya temperatur lautan berakibat pada bocornya dinding lisosom sekunder, sehingga berakibat pada kematian terumbu karang.

Contoh kasus kematian terumbu karang ini sudah banyak terjadi Indonesia dan luar Indonesia. Menurut Coremap-LIPI, pada tahun 1982-1983 terjadi kematian karang secara masal di Laut Jawa, Laut China Selatan, dan Selat Sunda akibat El-Nino. Pada 1997-1998 terjadi pula di Karimun Jawa dan Pulau Seribu, pada 2010 terjadi di Laut Natuna, Aceh, dan Kepulauan Riau. Berdasarkan kejadian historis ini, perubahan kualitas air laut secara ekstrim sangatlah berpengaruh besar terhadap kehidupan biota bawah laut. Sedangkan, ekosistem terumbu karang ini membutuhkan waktu yang sangat lama untuk memulihkan diri hingga seperti semula.

Gambar 8. Tumpahan minyak di tengah laut
Sumber: (response.restoration.noaa.gov)

Selain pengaruh pemanasan global atau perubahan iklim, penurunan kualitas perairan laut dapat juga disebabkan oleh kegiatan manusia seperti tumpahan minyak di tengah laut yang sampai di pesisir, kegiatan pelabuhan, kegiatan tepi sungai yang menyebabkan transpor sedimen yang sangat besar, hingga kegiatan industri yang membuang limbah pada perairan laut seperti limbah kimia, logam berat, atau bahang. Kegiatan seperti ini bahkan pengaruhnya lebih dahsyat dibanding pemanasan global. Perbandingannya, untuk pemanasan global terjadi sekala dunia dan pengaruhnya adalah perlahan. Namun untuk skala lokal yang berasal dari industri atau kegiatan manusia di pesisir berakibat pada kerusakan secara cepat dan lebih buruk lagi. Pada kasus penurunan kualitas air laut akibat aktifitas manusia ini berpengaruh pada lingkungan laut pada tiga ekosistem pesisir, yaitu ekosistem padang lamun, terumbu karang, dan hutan mangrove. 

Penurunan kualitas perairan laut akibat aktifitas manusia terdiri dari bertambahnya material padatan tersuspensi di perairan akibat proses di pesisir atau di muara sungai seperti penambangan pasir di muara sungai. Selain itu kegiatan seperti pengerukan di pelabuhan yang membuang sedimen pada zona vegetasi membuat kualitas air laut menurun akibat bertambahnya material padatan tersuspensi dari buangan pengerukan tersebut. Kegiatan pembuangan minyak bumi secara ilegal di tengah laut skala besar pun memberikan dampak pada penurunan kualitas perairan laut, karena dengan adanya minyak di atas permukaan air laut, maka tidak akan ada radiasi matahari yang terserah dan berakibat pada kematian biota di bawahnya. 

Gambar 9. Menyelamatkan air laut sama dengan menyelamatkan kehidupan
Sumber: (Dokumentasi, 2020)

Berdasarkan tulisan ini, penulis ingin meyakinkan kepada pembaca bahwa lautan memiliki arti penting dalam kehidupan makhluk hidup di bumi ini, entah itu tumbuhan, hewan di darat, ikan-ikan, udang, kepiting, bahkan bagi manusia itu sendiri. Lautan melakukan dinamikanya sendiri untuk terus bergerak agar semua konsentrasi molekul atau senyawa kimia yang berada di dalamnya larut dan berubah menjadi senyawa lain yang dapat menjadi manfaat bagi kehidupan. Bukan hanya lautannya, namun biota di dalamnya memiliki arti yang sangat penting bagi manusia, porifera dengan filtrasi airnya, terumbu karang dengan tempat pemijahannya, padang lamun dengan kekayaan oksigennya, ekosistem mangrove dengan sumber nutrisi dan filter material padatan tersuspensi, hingga fitoplankton yang menyumbang sekitar 60% oksigen di dunia ini. 

Setelah kita tau bahwa lautan dan segala isinya itu penting, maka kita sebagai manusia haruslah dengan bijak menjaga kualitas air laut dengan semaksimal mungkin. Penulis ingin memberikan beberapa tips untuk pembaca mengenai cara-cara yang dapat dilakukan untuk mendukung terjaganya kualitas air di lautan. 

1. Kurangi produksi karbon dioksida
Dengan mengurangi produksi karbon dioksida yang dihasilkan dari proses pembakaran oleh manusia, maka potensi berkurangnya pH lautan atau naiknya suhu lautan semakin kecil. Pengurangan produksi karbon dioksida dapat dengan cara membatasi penggunaan kendaraan pribadi, membiasakan hidup dengan sepeda, melakukan penanaman pohon di sekitar rumah, tidak melakukan pembakaran sampah, serta banyak lagi kegiatan untuk mengurangi produksi karbon dioksida.

2. Hentikan perusakan pesisir pantai
Maksud dari menghentikan perusakan terhadap pesisir pantai adalah menghentikan segala aktifitas yang dapat menambah konsentrasi material padatan tersuspensi yang berada di lautan, semisal aktifitas penambangan pasir di muara sungai. Hal ini akan memberikan kesempatan lebih besar pada terumbu karang untuk hidup. Selain itu, hentikan pula kegiatan membuang sampah plastik di sungai dan laut, hal ini akan menurunkan kualitas perairan karena pengaruh dari mikroplastik.

3. Lakukan restorasi hutan mangrove di pesisir pantai
Restorasi mangrove sangat penting, karena fungsi dari hutan mangrove sendiri adalah untuk filtrasi sedimen yang ada di pesisir, sehingga perairan laut akan menjadi lebih jernih dibanding tanpa hutan mangrove. Selain itu, dengan penanaman hutan mangrove ini, kualitas perairan laut akan semakin bertambah karena ekosistem mangrove merupakan sumber nutrisi bagi biota di pantai. 

4. Coastal cleanup 
Coastal cleanup merupakan suatu program yang sangat bagus untuk menyelamatkan lautan dari sampah-sampah plastik yang dapat mengecil menjadi mikroplastik dan berbahaya bagi manusia maupun biota di lautan. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh pembaca apabila berkunjung ke pantai.

Penulis sangat berharap kualitas air laut dapat kembali membaik sehingga kehidupan biota di dalamnya dapat terjaga dengan baik. Kualitas air laut yang bagus akan menjadi tempat dimana segala macam karang akan hidup, berbagai macam ikan dan biota lainya pula akan hidup. Dengan membaiknya kualitas air di lautan dapat membawa potensi pula bagi manusia untuk mengembangkan pariwisata yang berbasis lingkungan, dan kegiatan riset yang pastinya dapat menemukan hal-hal baru pada kondisi air laut yang memiliki kualitas yang baik. Penulis juga sangat berharap pada pembaca untuk terus menjaga lingkungan dan menjaga laut, agar kehidupan ini tetap seimbang dan tidak terjadi kerusakan yang lebih berat!! Ingatlah, bahwa bukan hanya manusia yang memiliki krisis kualitas air, tapi makhluk laut pun!!

Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog "Perubahan Iklim" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini

Daftar Pustaka:
[1] National Oceanic and Atmospheric Administration. Why is The Ocean Salty?https://oceanservice.noaa.gov/facts/whysalty.html.
[2] PMEL Carbon Program. Why is Ocean Acidification?. https://www.pmel.noaa.gov/co2/story/What+is+Ocean+Acidification%3F.
[3] Global Climate Change. Global Land-Ocean Temperature Index. https://climate.nasa.gov/vital-signs/global-temperature/.
[4] National Oceanic and Atmospheric Administration. What is Coral Bleaching?. https://oceanservice.noaa.gov/facts/coral_bleach.html.
[5] Coremap-LIPI. Pemutihan Karang dan Kejadian Bleaching 2016. http://coremap.or.id/berita/1172.

Comments